13/11

hari ini, sebelum semuanya dimulai, aku meminta maaf pada entah siapa (apa) yang mau menerimanya. hari ini, dan hujan i menjadi latar musik adeganku mengantre makan malam ketika akhirnya mendung itu benar-benar menjadi hujan. sekarang aku sudah kering. namun aku masih ingin minta maaf kepada apa (siapa) saja yang mau menerimanya.

tidak ada yang bisa dilaporkan

  1. tidak ada air mata
  2. aku dan kau diaduk dengan salah
  3. maaf

11/11

hari ini tidak ada diskon untuk kugunakan. tak ada mendung, dan kilat. tidak ada yang berbeda meski susah payah aku menerima jawab. kuminum tidak, ya? pagi-pagi sekali aku sudah beranjak dari lelap kita yang berharga. siang-siang bolong sudah menyisakan dua bar bensin dan tersedu-sedu di depan orang asing. sore-sore dengan waktu yang sengaja dibuang aku sudah duduk-duduk di kursi merah (mix platter dan budi pekerti) sebelum berpindah ke kursi panjang (sushi dan sunset) dan kemudian kembali ke kursi merah (berondong dan film 6/10) dan berbenah.

dilaporkan beberapa hal yang perlu perhatian

  1. aku sedang baik
  2. kekhawatiranku baru

10/11

hari ini kutemukan langit ternyata tak pernah setinggi yang sempat kupikir. namun langit selalu terasa jauh ketika sembari menekuk alis, menatap lampu-lampu yang mulai dinyalakan dan semoga selamat sebelum hari benar-benar gelap. apa yang sebenarnya kamu coba katakan? hari ini aku tidak menangis, tapi seperti harga yang harus dibayar, hari ini pun tak kubiarkan orang-orang menikmati sisa harinya yang berharga, atau tidak.

dilaporkan untuk diketahui,

  1. aku masih melihat amarah ketika bercermin
  2. tidak ada yang berubah

9/11

hari ini langit tak setinggi kemarin. waktu tak berjalan selambat biasanya, dan besok belum akan hari sabtu. namun aku masih lihai memberi luka pada siapa saja, atau apa. aku masih mengucap maaf tak beralamat. aku masih melempar tanya pada udara. dan langit tak pernah benar-benar terasa dekat.

dilaporkan hal-hal sebagai berikut,

  1. hari ini goresnya semakin terasa
  2. aku masih membawa pisau kita
  3. kata maaf itu entah di mana

kita akan baik saja.

barangkali kita terlalu banyak mencipta skenario berbungkus monolog-monolog panjang dalam kepala. tapi bukankah kita akan baik-baik saja? kita akan baik-baik saja setelah mendung itu selesai berarak melintasi kepala kecil kita. kita akan baik-baik saja meskipun kita basah sebab hujan enggan menahan diri untuk tak jatuh. kita akan baik saja, dengan sedikit pilek, menunggu yang basah menjadi kering, menunggu yang kosong menjadi penuh, menunggu yang masih menjadi telah. entah apa yang menjadi kata favoritmu hari ini. kemudian, di penghujung hari nanti, kita akan duduk bersandar sembari menyesap apa-apa dalam cangkir kita masing-masing—mengosongkan yang penuh.

jumat.

Bagaimana cara agar lupa masih menjadi pertanyaan yang kian hari kian besar bagiku. Meski tak semua tanya datang beserta jawab (jika mengutip dari perkataan Ananda Badudu dalam lagunya), tapi aku berharap besar pada waktu agar bekerja lebih cepat kali ini saja. Aku masih ingin berteriak pada bagian laut yang terbelah kapal-kapal muatan. Pada punggung bukit yang ditumbuhi pepohonan, beratus-ratus tahun lalu. Pada kursi-kursi yang patah kakinya. Pada sepanjang Jalan Raya Abepura yang ditempa cahaya matahari tenggelam. Pada lampu-lampu jalan yang tak pernah dinyalakan. Aku masih ingin berteriak. Pada apa saja yang hidup dan yang mati. Bagaimana rasanya hidup. Bagaimana rasanya mati. Bagaimana rasanya melakukan sesuatu yang berarti, dan yang tidak.

Bagaimana jika aku pulang, dan jika aku tinggal. Bagaimana cara lupa.

Pernah, ga sih, tiba-tiba ingin lari ke pantai, menceburkan diri ke ombak yang pasang, yang kemudian membawamu pulang? Ah. Pulang. Ke rumah. Di hari jumat yang sore. Memakai baju batik yang seharian dipakai (di lautan).

Bagaimana bisa kau tumbuh jadi orang yang tidak menyenangkan? Tidak pintar? Tidak juga punya satu hal yang bisa kau banggakan? Bagaimana kau bisa hidup? Adalah sekian pertanyaan mencerca yang tak akan kubiarkan lagi melintas di kepala. Ingkar janji.

Bagaimana aku bisa melewati ini, ya?

Terdengar sangat menyedihkan, setelah kubaca lagi dua minggu kemudian (dengan batik yang sama), aku nyaris tidak setuju pada hampir setengah isinya.

selasa.

Semakin aku duduk di sini, kupikir, semuanya akan semakin baik-baik saja, kuharap. Entah apa yang bisa kuharapkan lagi, tapi aku masih ingin hanyut di lautanmu. Aku masih ingin tiba-tiba berada di pantai yang jauh dari sini, di pantai yang tiba-tiba di depan rumahku. Aku masih jauh dari rumah. Pulang menjadi tak mungkin, belakangan. Semoga hanya untuk hari ini saja. Siapa, sih, yang kauharapkan muncul di tikungan menuju Sentani itu? Sepasang mata milik siapa yang kauharap tiba-tiba mengajakmu tersenyum?

Sekarang waktunya berhenti berbasa-basi. Hari ini aku berkali-kali lipat lebih mengantuk dari biasanya. Aku harus berkali-kali mengangkat kakiku dan mengetuk-ngetuk ujungnya untuk sedikit membuang rasa kantuk yang hari ini sedikit terlalu berlebih. Aku harus mencubit kulit tanganku yang kubenci dan sesekali menjentikkan jari tengah ke jemariku yang juga kubenci. Aku harus memikirkan hal-hal yang membuatku sedih (yang mana bukan hal sulit buatku). Ketika sudah saatnya aku memikirkan hal-hal yang membuatku menangis, aku sadar aku tidak bisa memikirkan apapun kecuali betapa-betapa yang semakin hari semakin membuatku merasa kecil. Ini bukan hal bagus. Meski aku tidak menangis, aku tetap merasa ingin menyublim ke udara.

bisakah waktu mengajarimu cara untuk menepuk pundak sendiri?

satu hari aku akan berada di ruangan yang lain, mencoba menepuk pundak sendiri. di sana tak lagi ada kalimat-kalimat kosong tak berpenghuni. sebab pada akhirnya kita butuh lebih dari sekadar huruf-huruf untuk bersandar.

kemudian, di ujung hari itu, aku tetap akan duduk di sana. menahan amarah pada yang aku lihat di cermin kamar—belum juga kutemukan bagaimana cara paling menyenangkan untuk menepuk pundaknya.

aku akan hidup di hari yang lain, katanya.

memeluk telah.
merengkuh akan.
menanti mungkin.

… menepuk pundakmu.


sebuah catatan yang ditemukan di antara kertas-kertas dengan angka tak perlu semasa sma.

kemarin aku memimpikan jalanan pada jam dua pagi. yang lalu membawa anganku pergi dari bumi. dalam ruang kosong yang entah bagaimana wujudnya, aku mencari kemana peduliku beranjak dari tempatnya terlelap…

terhadap kau, yang membuatku menunggu langit menghijau, dan waktu, yang seolah membungkam bumi menjadi sesunyi jalanan pada jam dua pagi. kau yang membuatku mengangankan banjir yang tiba-tiba dalam kepala dan menghanyutkan segala inginku pada pandanganmu yang tak membaik. kau yang membawa segala mimpimu pergi menuju ibu kota.

kadang aku akan bertanya juga pada ingatan, masih adakah kau yang terburu-buru memasang dasi setelah menepikan diri dari jalanan pada jam-jam ramai? atau kerah yang membuat semua orang ingin berlari ke arahmu seperti seorang kekasih?

gedung ini kehilangan anomalinya seiring dengan kepergianmu ke ibu kota. kau menjadikannya sepi. sesunyi jalanan pada jam dua pagi.

(haha)

katalis.

kalau aku bilang aku sedang sedih, kau tidak perlu mengalah perihal ruang. kau tidak perlu menahan apa yang kau pikir tidak akan membawa kesenangan. mungkin iya aku akan abai, tapi usai dari sini, aku akan—untuk kesekian kalinya—merelakan kita hanyut, membiarkan diri menangis, mengais sisa-sisa katalis.. sampai habis waktuku!