Bagaimana cara agar lupa masih menjadi pertanyaan yang kian hari kian besar bagiku. Meski tak semua tanya datang beserta jawab (jika mengutip dari perkataan Ananda Badudu dalam lagunya), tapi aku berharap besar pada waktu agar bekerja lebih cepat kali ini saja. Aku masih ingin berteriak pada bagian laut yang terbelah kapal-kapal muatan. Pada punggung bukit yang ditumbuhi pepohonan, beratus-ratus tahun lalu. Pada kursi-kursi yang patah kakinya. Pada sepanjang Jalan Raya Abepura yang ditempa cahaya matahari tenggelam. Pada lampu-lampu jalan yang tak pernah dinyalakan. Aku masih ingin berteriak. Pada apa saja yang hidup dan yang mati. Bagaimana rasanya hidup. Bagaimana rasanya mati. Bagaimana rasanya melakukan sesuatu yang berarti, dan yang tidak.
Bagaimana jika aku pulang, dan jika aku tinggal. Bagaimana cara lupa.
Pernah, ga sih, tiba-tiba ingin lari ke pantai, menceburkan diri ke ombak yang pasang, yang kemudian membawamu pulang? Ah. Pulang. Ke rumah. Di hari jumat yang sore. Memakai baju batik yang seharian dipakai (di lautan).
Bagaimana bisa kau tumbuh jadi orang yang tidak menyenangkan? Tidak pintar? Tidak juga punya satu hal yang bisa kau banggakan? Bagaimana kau bisa hidup? Adalah sekian pertanyaan mencerca yang tak akan kubiarkan lagi melintas di kepala. Ingkar janji.
Bagaimana aku bisa melewati ini, ya?
Terdengar sangat menyedihkan, setelah kubaca lagi dua minggu kemudian (dengan batik yang sama), aku nyaris tidak setuju pada hampir setengah isinya.