mengenang sepasang kening

di pinggir jalan ini sepulang sekolah, dulu sebelum punya surat izin mengemudi, kadang aku akan duduk disitu menunggu seseorang dari rumah beranjak untuk menjemputku sambil aku mengorek puntung rokok yang entah bagaimana ceritanya bisa terselip di rongga-rongga pohon itu,

atau sambil berbincang dengan kawan mengomentari tingkah polah anak-anak sekolah seberang,

atau sambil mengantre bakso goreng yang sampai saat ini pun rasanya tak ada dua,

atau sambil memesan segelas plastik es krampul dan menukarnya dengan dua lembar uang kertas,

atau sambil mengagumi betapa menunggu adalah kata kerja paling melelahkan,

atau sambil menahan amarah ingin segera menginjak rumah,

atau sambil mengetik beberapa frasa yang sumbang pada telepon genggam dan berkaca pada tiap aksaranya,

atau sambil mengingat kejadian tak perlu yang mengundang malu,

atau sambil meraba apa yang selama ini aku mau,

dan tanpa pernah sekelebat pun menyangka akan menuliskanmu menjadi paragraf yang serumpang itu.

hari itu tanggal dua juli.

hari itu hadirku terasa pandir, sedang kau sibuk mengusir mendung yang sebentar lagi tak mampu terbendung.

hari itu jalanan jogja tak sedetikpun terdengar bising, kita hanya mencoba untuk terasing, kataku, sebentar saja.

hari itu kita berdua menyimpan penat diam-diam, menguburnya dalam-dalam, barangkali bersama mimpi yang sekejap terasa terlampau berat, bagaimana jika kita menukar setengah jam ke depan dengan dua mangkuk mi ayam dan segelas teh hangat?

hari itu kita pergi ke warung mi ayam dengan masing-masing keresahan; tak ada satupun dari kita yang sanggup mengutarakan.

semangat, kita.

esok pasti jumpa!

[#1] salah sepuluh hal yang bagiku menyenangkan.

sepuluh hal yang membuatku bahagia tidak akan jauh-jauh darimu: aku akan merasa senang dengan menaklukkan malas yang tak henti mampir di awal pagiku; beranjak dari tempat tidur untuk mengadu pada penciptaku, dan mengharap sebuah jawaban dari pertanyaan yang tak henti dirapal sejak lalu (tidak ada di antara kita yang perlu tahu).

aku akan merasa senang ketika secangkir kopi yang kutandaskan sebelum berjalan lagi telah bekerja sesuai tupoksinya; menjaga kepalaku untuk tidak tunduk pada mimpi yang tak semestinya.

aku akan senang ketika mendapatimu dan warna bajumu yang senada dengan milikku, dan bahagiaku memang se-takpenting itu.

aku akan lebih senang jika pada suatu hari aku berhasil mengenali suaramu yang saat ini sedikitpun tak meninggalkan apa-apa di kepala (aku masih bertanya-tanya mengapa).

barangkali aku akan lebih senang bila ada seseorang yang segera menyudahi perasaanku yang tak jelas muaranya; barangkali kala kau dengan semua umurmu yang tak sedikit memutuskan untuk meninggalkan kota dan menyublim untuk menghujani bumi yang telah lama kau tinggal pergi.

aku akan merasa senang ketika aku berjalan di belakangmu tanpa kau tahu dan dengan begitulah aku bisa mengenali satu-satunya sepasang sandal tua yang kau punya.

aku akan senang ketika pada akhirnya bisa mengenali dengan benar bintang yang akan kubidik dengan busur dan anak panah yang akan menuju ke sana dengan baik, semoga kau pun telah lama menemukan bintangmu sendiri.

aku akan merasa senang ketika kita sesekali berjumpa dalam lini masa yang menyedihkan, semoga kita akan terus saling menemukan.

aku akan merasa senang jika nanti hanya ada selintas rel kereta api yang menjadikan kita berjarak, dan dengan begitu aku hanya butuh dua gerbong untuk menemuimu.

tapi pada akhirnya, aku akan merasa senang dan lebih senang dari apapun, ketika kau benar-benar menjelma sebuah jawab,

suatu hari nanti.

tentang kau dalam diriku.

kau pergi untuk mengisi segala lubang dengan omong kosong. membiarkan anjing dalam diriku mati menggonggong. kau pergi meninggalkan tanda tanya untuk kujejaki di jalan setapak.

kukira kau bak pahlawan yang membawa luka pada tubuhnya. nyatanya kau cuma penikmat kopi dan luka hati. suka merajuk tapi tak pernah mau dirayu. kau lebih memilih sajak ketimbang senja. bagimu ia adalah indah sekejap dan lalu duka. kau merasa aman dalam sebuah paradoks tak terhingga; kesunyian dalam ramainya jalanan kota. disana kau menikmati bagaimana kendaraan kembali jadi bayi.

kau pergi untuk menukar pagi dengan secangkir kopi. kepada sebuah jendela kau bicara tentang jalanan yang membeku lantaran penghuninya dibunuh waktu.

kita berdua tahu mengapa

kita tak henti-hentinya saling berteriak, memaki, menggali, mengungkit, dan pada akhirnya masing-masing kita punya luka. sepotong maaf tak bisa begitu saja mengisi udara. kita berdua tahu tak akan ada yang sanggup bicara meski tak ada satupun dari kita yang bisa tahan dengan kesunyian semacam ini. kita tak henti-hentinya menatap dua pintu yang berlainan, mengharap pintu-pintu itu menjelma jalan keluar tanpa harus banyak bersuara. kita berdua tahu tak akan ada yang mengetuk pintu karena kita telah membangun dinding terlalu tinggi dengan dunia; dulu kita percaya akan selalu saling percaya. sekarang kita berdua tahu tak akan ada yang tahu kapan kita saling menemukan, bahwa kita pernah membangun pagar, mengisi sudut rumah dengan kisah-kisah tanpa cerita milik masa lalu, menghindari sunyi, saling berteriak, memaki, menggali, mengungkit… mereka tak pernah tahu kapan kita mulai lupa bagaimana caramemaafkan.

dan pada akhirnya masing-masing kita punya luka. kita berdua tahu tak akan ada yang tahu mengapa kita mati dengan luka yang serupa.

Mengingat Kematian

Aku menulis, untuk aku tidak melamun. Mulutku kering, tidak bicara panjang-panjang, atau lebar. Tidak juga penuh sampah, perutku kosong sejak pagi. Jemariku nyaris kaku kedinginan. Tapi mana mungkin. Sepatuku longgar, tidak ada yang mengikat talinya dengan simpul, atau apalah. Meski tidak butuh seseorang yang membahasakan hidup dengan morse dan mengaku cinta bumi untuk melakukannya.

Barusan, seseorang tak lagi menapakkan kakinya di bumi. Tak lagi ia memproduksi karbon dioksida untuk fotosintesis pepohonan. Pagi-pagi ketika aku mengeluhkan pendidikan. Semua orang tergesa-gesa. Beberapa tersedu-sedu.

Seseorang itu membantu kita mengingat lagi, bahwa kematian sejatinya menjemput kita sewaktu-waktu. Seseorang yang bahkan entah siapa. Namun begitu jelas terbayang wajah ibu bapaknya.

Sedari tadi aku sendiri di ruangan berjendela setelah merasa sepi di ramainya pasar yang tak menjual. Di rumah juga akan sama. Sunyi. Suram. Meski lima napas teraduk bagai sampanye. Entah perlukah kita mengaduk sampanye?

Kupikir tiada mampu aku menulis lagi untuk menjagaku tidak melamun.

/. ditulis pada bulan Januari 2017 di UKS sekolah setelah lelah ditempa sepi dan anomali.

Menuliskan Obituari

Ia masih terjebak dalam hijaunya ratusan helai pintu yang kau gantungkan juga di lelangit ingatan. Sedang kau sendiri telah lama pergi jauh: tujuh puluh kilometer dari rumah. Maka ia masih ingin menuliskan selembar lagi obituari, untuk orang yang belum mati.

Namun ia kehilangan kata-kata. Tenggelam dalam arus gelap pemikirannya. Yang masih tersisa adalah ia yang menolak lupa, tentang kau yang berpayung luka dan resah yang menghujani lara. Tentang kau yang berlarut-larut dalam kepergian. Tentang ia yang tak sanggup merangkai kata untuk ikut larut di dalamnya. Tentang rantau yang tak perlu, pilu yang melulu.

Pun tentang spasi yang ditekan berkali-kali; jarak yang seolah tak bertepi.

Karena Kamu Akan Pergi Jauh.

​karena kamu akan pergi jauh—yah, hanya berjarak satu dua jam perjalanan dengan kereta—aku akan lebih sering mencoba berhenti berpikir.

memikirkan betapa banyaknya atap dan jalanan yang akan membentang menjadi spasi yang tak disimpul dengan benar.

memikirkan masa depan dalam kalimat tanya; bagaimana kabarmu setelah sibuk menyusun skripsi?

memikirkan lagakmu yang agaknya tak pernah dirundung hujan sebab payungmu tak pernah berlubang.

memikirkanmu yang lengah ketika fisika membuatmu jengah, dimana tak mungkin.

oh, jika kau hantu tak akan lagi ku nyalakan lilin dalam gelap.

jika kau angin tiada akan pernah aku menutup jendela.

jika kaulah rumah aku akan pulang kemana saja.

aku tahu, bukankah kau akan berpikir betapa pelajaran eksak telah membuatku sinting?

mungkin aku telah berpikir terlalu banyak dan lebih jauh bahkan dari Kota Lama.

karena kamu akan pergi jauh dan aku belum beranjak bahkan dari tempatku dilahirkan.

karena kamu akan pergi jauh dan aku tak pernah tahu jika kau menjadi lebih pendek dari kemarin.

karena kamu akan pergi jauh,

dan aku telah menantikan kepulangan yang entah kapan.

kalau mau merangkum ini sebagai selamat tinggal, aku bahkan tidak akan sanggup membantah lagi.

jadi…

tunggu saja aku di tempatmu bahagia!

Sunyi.

sepi ingin melihatku sendiri bersama sunyi
mengheningkan waktu bersama secangkir hampa
dan sepiring kekosongan
tanpa sadar aku butuh ramai
untuk mengisi segala ruang tanpa perlu bersuara

aku berkaca pada kata
hendaknya ia menyimpan peluh pun keluh kesah
pada berjuta-juta aksara dalam semesta
nyatanya ia sedikit resah
menanti birunya langit
lapangnya samudera
juga luasnya cakrawala

namun waktu selalu benci sandiwara
ia hanya akan berlari mengejar siapa saja
bahkan malam hanya akan berlalu
sembari menggulung bintang-bintangnya
kadang waktu juga
seenak jidat menampar penat
dengan lusuhnya suatu masa
atau kejutan yang masih hangat

akankah aku lupa
pada suatu malam yang berbisik
hingga tak mampu ia meredam
suara kodok yang separuh tenggelam di keruhnya air sawah
nanti akan kucarikan kamu tempat berteduh
jika besok hujan bukan hanya angan sang prakirawan cuaca

langit menghijau kemudian
kudengar berita politik yang rumit dari televisi
bunyi hujan yang menyentuh atap seng rumah kami
dan berisik ujung sendok yang beradu dengan gelas kaca
mengembalikan akalku pada nyalangnya hari rabu
oh, sunyi bersembunyi dengan baik di rumahku

Ucapan Selamat yang Lebih Cepat.

Kadang kau sendiri menjelma menjadi langit yang bermata layu. Atau senyum yang pudar seiring perginya langkah kaki seorang musafir. Atau sepasang sayap burung gereja yang sesekali hinggap di kabel-kabel keputusasaan. Entah mana yang sekaligus membuatku jatuh dan tertawa.
Di hari yang lain kau temukan aku menangis tersedu. Hanya kau yang tahu untuk apa. Kala itu aku melihatmu seperti lampu di beranda. Remang yang menenangkanku hingga senja tertelan waktu. Sunyi. Meski aku tahu kau lakukan itu untuk siapa saja, salahkah bila aku terbawa suasana?

Pagi mengucapkan selamat tinggalnya pada malam. Sedang aku mengucapkan selamat berjuangku pada hampa. Kayu bakar masih setumpuk di halaman. Seperti halnya masa lalu; menunggu jadi abu.

Esok hari adalah entah keberadaannya. Akankah kita masih saling jumpa? Barangkali segelas susu adalah kenangan manismu. Akankah waktu menjadi sebab terlintasnya rindu? 

 

Teruntuk siapa saja atau apa.